Minggu, 25 Agustus 2013

Sepucuk Surat Untuk Ayah


             Sayup-sayup terdengar suara tangisan yang berasal dari lantai dua rumah kami, seorang lelaki sedang menangis meratapi sepucuk surat yang ia pegang ditangan kanannya, air mata nya berjatuhan membasahi sepucuk surat tersebut, sehingga membuat tulisan yang ada disurat itu, yang ditulis dengan pensil menjadi luntur. Raut mukanya menjadi merah, cairan-cairan keluar dari hidungnya, matanya menyempit karena mengeluarkan volume air mata yang begitu banyak. Ia tidak dapat memaafkan dirinya. Ia hanya terdiam dan duduk disudut kamar putra pertamanya. Suasana dikamar itu semakin membuatnya terpukul, bagaimana bisa ia begitu bodoh karena ia membenci putranya sendiri? Pertanyaan itu yang selalu menghantui pikirannya. Baru kali ini dia merasakan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Perlahan-lahan ia bangkit dan mengambil bingkai foto yang ada diatas sebuah meja kecil, kemudian dengan penuh rasa sayang ia pandangi wajah yang ada didalam foto tersebut, sebuah wajah yang sangat tampan, bibirnya yang sangat pucat bahkan masih mampu untuk melukiskan senyuman yang indah. Rasa sesal itu sekarang datang lagi, tak kuasa ia menahan air mata yang ingin keluar dari kedua matanya. Tanpa sadar ia mencium foto tersebut dengan bibirnya, dan akhirnya mendekap bingkai foto tersebut dengan kedua tangannya.
            Aku hanya bisa memandangi suamiku dari balik pintu kamar putra kami, rasanya sangat miris melihat ia melakukan hal seperti itu. Melihat wajahnya yang begitu sangat menyesal, karena beban pikiran yang dipikulnya sangat berat. Ternyata benar apa yang dibilang banyak orang “ penyesalan selalu datang belakangan “. Sejak dua hari yang lalu, setelah kami pulang dari komplek pemakaman untuk menguburkan jasad putra pertama kali. Ia memang sudah mengunci mulutnya rapat-rapat, ketika aku ajak bicara saja ia tidak menanggapinya. Ia tidak hanya mengunci mulutnya untuk tidak bicara, tetapi sejak dua hari yang lalu ia belum makan apapun. Percuma saja aku memberinya saran, suamiku ini memang sangat keras kepala dan memang yang ia butuhkan sekarang hanyalah kesendirian. Semoga hal tersebut dapat menjernihkan pikirannya dan meringankan bebannya.
            Tanpa sadar akupun terhempas ke masa lalu, memori-memori yang ada dipikiranku sekarang memaksaku untuk mengingat kembali ingatan masa lalu ku. Saat itu, ayah ingin menjodohkanku dengan pria yang tampan dan mapan, kebetulan pria itu adalah relasi dari perusahaan ayah. Aku sama sekali tidak setuju dengan perjodohan itu, karena aku tidak mencintainya, lagi pula kita baru bertemu dan memang cinta tidak dapat dipaksakan. Ayah terus saja memaksaku untuk menjadikan aku istri dari pria tersebut, dengan alasan pria tersebut adalah pahlawan yang telah menyelamatkan perusahaan ayah yang hampir gulung tikar. Dengan sangat menyesal aku memutuskan untuk pergi dari rumah dengan kekasihku, mengetahui hal tersebut ayah sangat marah dan menyuruh Pak Darmo untuk mencari keberadaanku, Pak Darmo adalah satpam di perusahaan ayah. Hari demi hari pun berlalu, aku tidak bisa terus menerus berada disini, selama satu minggu aku pergi dari rumah, aku menginap di kontrakan kekasihku. Hubungan kami yang sudah berjalan selama dua tahun memang tidak direstui oleh ayah, karena pekerjaan Mas Sugeng hanyalah seorang supir taksi.  Mas Sugeng bilang dia tidak keberatan jika aku berada disini, tetapi aku merasa tidak enak kepada Mas Sugeng. Gaji bulanan Mas Sugeng saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya pada siang hari aku memutuskan untuk menjual kalung emasku yang diberikan oleh ibu. Tujuanku pada siang hari ini adalah sebuah Mall ternama yang ada di daerah Jakarta Pusat. Aku pergi seorang diri tanpa sepengetahuan Mas Sugeng. Setelah berhasil mendapatkan uang dari hasil penjualan kalung tersebut aku langsung bergegas menuju ke super market untuk membeli kebutuhan sehari-hari untuk aku dan Mas Sugeng, tetapi saat ditengah perjalanan menuju ke super market tersebut, Pak Darmo dan teman-temannya berhasil menemukan aku, menyadari hal tersebut aku langsung berlari secepat yang aku bisa. Tetapi sia-sia, Pak Darmo berhasil mengejarku dan memaksaku untuk masuk kedalam mobil. Pak Darmo membawaku ke perusahaan ayah ku, ayah sangat marah dan kemudian menamparku dengan tangan kanannya. Aku pun menangis dan ibu langsung mendekapku, “ Cukup ayah, jangan perlakukan Kinan seperti itu. Yang penting dia sudah kembali dalam keadaan sehat “, ucap Ibu membelaku. “ Ayah tidak mau tahu, pernikahan Kinan dan Firman harus berlangsung bulan ini “, bentak ayah lalu membanting pintu ruangannya.
            Di hadapanku sekarang sudah ada kebaya yang akan aku kenakan untuk pernikahanku dengan Firman, tanpa sadar aku telah meneteskan air mataku, kebaya ini sangat indah, “ “ Seharusnya kebaya ini aku kenakan untuk pernikahanku dengan Mas Sugeng “, ucapku dalam hati. Setelah siap dengan kebaya dan wajahku sudah dirias, kami sekeluarga bergegas menuju Masjid Ar-Rachman untuk pembacaan ijab Kabul, Mas Firman membacakan ijab Kabul dengan begitu lantang hingga akhirnya kami resmi menjadi sepasang suami istri yang sah.
            Pernikahan ku dengan Mas Firman sudah menginjak usia delapan bulan, hingga akhirnya Mas Firman harus ditugaskan untuk kerja di luar kota selama kurang lebih satu bulan. Sesudah mencium keningku, Mas Firman langsung masuk kedalam mobilnya. Seminggu setelah Mas Firman pergi, pagi hari itu tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan rumah ku. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat Mas Sugeng sedang berdiri didepan rumah dan membawakan sebungkus martabak manis. Setelah mengizinkan Mas Sugeng masuk kedalam rumah, Mas Sugeng langsung membuka pembicaraan “ Apakah kamu bahagia menikah dengan Firman? “. “ Aku bahagia Mas, maaf sekarang Mas Firman sedang tidak ada dirumah sekarang. Lebih baik Mas Sugeng langsung pulang saja, tidak enak jika dilihat orang “, pinta ku. Akhirnya Mas Sugeng pun langsung melangkahkan kakinya menuju pintu rumah dan langsung membanting pintu rumahku.
            Sebulan pun berlalu, Mas Firman sudah pulang dari tugasnya, aku menyambutnya dengan sangat bahagia. Tetapi apa yang salah dari Mas Firman?  Sepertinya dia tidak suka dengan perlakuanku, mungkin dia masih lelah  karena aktifitasnya. Akhir-akhir ini aku sering merasa mual, apakah aku hamil? Semoga saja benar adanya. Akhirnya aku memeriksakan keadaanku ini ke dokter kandungan. “ Hasilnya positif hamil, usia kandungan anda sudah menginjak usia dua minggu “, ucap dokter. Betapa bahagianya aku mendengar kabar tersebut, pasti Mas Firman juga sangat bahagia mendengar kabar ini.
            Ketika Mas Firman membuka pintu kamar kami, aku pun langsung memberitahukan kabar bahagia ini kepada Mas Firman. “ Mas, aku hamil “, ucapku dengan sangat antusias, tiba-tiba Mas Firman membanting tas kerja yang sedang ia pegang, “ Apa kamu bilang? Kamu hamil? Pasti bayi yang ada di kandungan mu itu adalah anak dari Sugeng “, bentak Firman. “ Kamu tega sekali Mas berbicara seperti itu, aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Sugeng “, ucap ku lirih. “ Tidak berhubungan kamu bilang? Kamu pikir aku tidak tahu kalau Sugeng mengunjungi mu saat aku pergi? “.
            Sejak saat itu, Mas Firman selalu pulang larut malam, bahkan ia pernah tidak pulang kerumah. Setelah Sembilan bulan lamanya aku mengandung, akhirnya anak yang ku kandung lahir kedunia. Anak lelaki yang sangat tampan. Tangisnya memecahkan keheningan yang ada diruang persalinan. Mas Firman masih tidak mau mengakui bahwa anak ini adalah anaknya, yang ada dipikirannya adalah anak ini adalah anak dari Sugeng.
            Damas tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan pintar, ia selalu menjadi juara kelas di sekolahnya. Tapi malang sekali anak ini, ia tidak mendapat pengakuan dari ayahnya. Miris sekali aku melihatnya, Damas sering bertanya kepadaku “ Bunda, aku ingin mencium tangan ayah, mengapa ayah jahat kepada Damas? “, hati ibu mana yang tidak sakit mendengar pertanyaan tersebut. Mas Firman sering sekali memukul Damas dengan tangannya karena Damas melakukan kesalahan yang sepele.
            Sembilan tahun aku merawat Damas sendirian, karena Mas Firman tidak mau membiayai segala kebutuhan Damas. Pagi itu, ketika aku mau membangunkan Damas untuk pergi kesekolah, aku lihat sekujur tubuhnya Damas merah lebam, suhu badan Damas sangat tinggi. Aku sangat panik dan akhirnya aku membawa Damas kerumah sakit.
            “ Damas terkena hemophilia, dan keadaannya sudah sangat parah karena banyak sekali luka bekas pukulan . Jika keajaiban datang, mungkin Damas bisa bertahan “, ucap dokter. Seperti tersambar petir aku mendengar hal tersebut, semalaman aku menunggu Damar dirumah sakit, aku berusaha menghubungi Mas Firman tapi Mas Firman mengabaikan pesan yang aku kirim.
            Siang itu, adalah siang terburuk yang ada didalam hidupku. Perasaanku tidak enak sejak tadi malam, tapi aku selalu mengabaikannya dan berpikir positif. Tiba-tiba dokter datang dan memecahkan lamunanku, “ Ibu Kinan, maaf kami sudah tidak dapat menangani kondisi Damas, kami sudah berusaha sebaik mungkin tetapi takdir Tuhan berkata lain “, ucap dokter. Aku hanya menangis dan sekujur badanku lemas, seperti sehabis mendapatkan tamparan yang sangat keras sehabis mendengar kabar tersebut. “ Saya juga menemukan surat ini didalam baju tidur Damas “, kemudian dokter tersebut memberikan sepucuk surat dari Damas.
            Tulisan diamplop tersebut sudah tidak asing lagi bagiku, tulisan Damas yang sangat khas yang ia tulis dengan pensil kesayangannya yang aku berikan. “ Buat ayah dan bunda “. Langsung ku buka amplop tersebut dan ku baca surat itu.
“ Buat ayah dan bunda, kayaknya besok Damas udah gak ada di bumi lagi, Damas mungkin udah terbang ke langit. Damas cuma mau minta maaf sama ayah, karena Damas sering buat ayah kesel dengan Damas, Damas tau ayah kalo pulang kerja capek, jadi ayah gak punya waktu buat main dengan Damas, makasih ya ayah selama ini ayah udah mau jadi pahlawan buat Damas, ayah udah mau ngasih uang buat Damas. Buat bunda, makasih ya udah mau bacain Damas buku cerita setiap Damas mau tidur, kalo Damas nangis bunda selalu nenangin Damas terus buatin Damas susu coklat. Damas sayang ayah dan bunda “.
            Setelah membaca surat itu, hati ku pun semakin terasa tersentuh, aku harap Mas Firman mau membaca surat tersebut. Aku langsung menghubungi Mas Firman untuk segera menjemputku di Rumah sakit, aku memberikan surat tersebut kepada Mas Firman. Mas Firman pun langsung lari menuju ruangan tempat Damas di rawat dan memeluk jasad Damas yang sudah tidak berdaya.

Minggu, 11 Agustus 2013

Hyperlink

Tak semudah air mengalir
Tak semudah mentari bersinar
Tak semudah bumi berputar
Dan tak semudah bintang bersinar

Kaki berjalan 
Tangan memegang 
Mulut berbicara
Mata melihat dan Telinga Mendengar

Bangkitlah 
Berusaha 
Berjuang
Wujudkan Mimpi

Gapailah air sebanyak mungkin
Raihlah mentari yang bersinar
Hentikan Bumi yang berputar
Redupkan Bintang yang bersinar