Sayup-sayup terdengar
suara tangisan yang berasal dari lantai dua rumah kami, seorang lelaki sedang
menangis meratapi sepucuk surat yang ia pegang ditangan kanannya, air mata nya
berjatuhan membasahi sepucuk surat tersebut, sehingga membuat tulisan yang ada
disurat itu, yang ditulis dengan pensil menjadi luntur. Raut mukanya menjadi
merah, cairan-cairan keluar dari hidungnya, matanya menyempit karena
mengeluarkan volume air mata yang begitu banyak. Ia tidak dapat memaafkan
dirinya. Ia hanya terdiam dan duduk disudut kamar putra pertamanya. Suasana
dikamar itu semakin membuatnya terpukul, bagaimana bisa ia begitu bodoh karena
ia membenci putranya sendiri? Pertanyaan itu yang selalu menghantui pikirannya.
Baru kali ini dia merasakan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Perlahan-lahan
ia bangkit dan mengambil bingkai foto yang ada diatas sebuah meja kecil,
kemudian dengan penuh rasa sayang ia pandangi wajah yang ada didalam foto
tersebut, sebuah wajah yang sangat tampan, bibirnya yang sangat pucat bahkan
masih mampu untuk melukiskan senyuman yang indah. Rasa sesal itu sekarang
datang lagi, tak kuasa ia menahan air mata yang ingin keluar dari kedua
matanya. Tanpa sadar ia mencium foto tersebut dengan bibirnya, dan akhirnya
mendekap bingkai foto tersebut dengan kedua tangannya.
Aku hanya bisa memandangi suamiku dari balik pintu kamar
putra kami, rasanya sangat miris melihat ia melakukan hal seperti itu. Melihat
wajahnya yang begitu sangat menyesal, karena beban pikiran yang dipikulnya sangat
berat. Ternyata benar apa yang dibilang banyak orang “ penyesalan selalu datang
belakangan “. Sejak dua hari yang lalu, setelah kami pulang dari komplek
pemakaman untuk menguburkan jasad putra pertama kali. Ia memang sudah mengunci
mulutnya rapat-rapat, ketika aku ajak bicara saja ia tidak menanggapinya. Ia
tidak hanya mengunci mulutnya untuk tidak bicara, tetapi sejak dua hari yang
lalu ia belum makan apapun. Percuma saja aku memberinya saran, suamiku ini
memang sangat keras kepala dan memang yang ia butuhkan sekarang hanyalah
kesendirian. Semoga hal tersebut dapat menjernihkan pikirannya dan meringankan
bebannya.
Tanpa sadar akupun terhempas ke masa lalu, memori-memori
yang ada dipikiranku sekarang memaksaku untuk mengingat kembali ingatan masa
lalu ku. Saat itu, ayah ingin menjodohkanku dengan pria yang tampan dan mapan,
kebetulan pria itu adalah relasi dari perusahaan ayah. Aku sama sekali tidak
setuju dengan perjodohan itu, karena aku tidak mencintainya, lagi pula kita
baru bertemu dan memang cinta tidak dapat dipaksakan. Ayah terus saja memaksaku
untuk menjadikan aku istri dari pria tersebut, dengan alasan pria tersebut
adalah pahlawan yang telah menyelamatkan perusahaan ayah yang hampir gulung
tikar. Dengan sangat menyesal aku memutuskan untuk pergi dari rumah dengan
kekasihku, mengetahui hal tersebut ayah sangat marah dan menyuruh Pak Darmo
untuk mencari keberadaanku, Pak Darmo adalah satpam di perusahaan ayah. Hari
demi hari pun berlalu, aku tidak bisa terus menerus berada disini, selama satu
minggu aku pergi dari rumah, aku menginap di kontrakan kekasihku. Hubungan kami
yang sudah berjalan selama dua tahun memang tidak direstui oleh ayah, karena
pekerjaan Mas Sugeng hanyalah seorang supir taksi. Mas Sugeng bilang dia tidak keberatan jika aku
berada disini, tetapi aku merasa tidak enak kepada Mas Sugeng. Gaji bulanan Mas
Sugeng saja tidak cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya pada
siang hari aku memutuskan untuk menjual kalung emasku yang diberikan oleh ibu.
Tujuanku pada siang hari ini adalah sebuah Mall ternama yang ada di daerah
Jakarta Pusat. Aku pergi seorang diri tanpa sepengetahuan Mas Sugeng. Setelah
berhasil mendapatkan uang dari hasil penjualan kalung tersebut aku langsung
bergegas menuju ke super market untuk
membeli kebutuhan sehari-hari untuk aku dan Mas Sugeng, tetapi saat ditengah
perjalanan menuju ke super market
tersebut, Pak Darmo dan teman-temannya berhasil menemukan aku, menyadari hal
tersebut aku langsung berlari secepat yang aku bisa. Tetapi sia-sia, Pak Darmo
berhasil mengejarku dan memaksaku untuk masuk kedalam mobil. Pak Darmo
membawaku ke perusahaan ayah ku, ayah sangat marah dan kemudian menamparku
dengan tangan kanannya. Aku pun menangis dan ibu langsung mendekapku, “ Cukup
ayah, jangan perlakukan Kinan seperti itu. Yang penting dia sudah kembali dalam
keadaan sehat “, ucap Ibu membelaku. “ Ayah tidak mau tahu, pernikahan Kinan
dan Firman harus berlangsung bulan ini “, bentak ayah lalu membanting pintu
ruangannya.
Di hadapanku sekarang sudah ada kebaya yang akan aku
kenakan untuk pernikahanku dengan Firman, tanpa sadar aku telah meneteskan air
mataku, kebaya ini sangat indah, “ “ Seharusnya kebaya ini aku kenakan untuk
pernikahanku dengan Mas Sugeng “, ucapku dalam hati. Setelah siap dengan kebaya
dan wajahku sudah dirias, kami sekeluarga bergegas menuju Masjid Ar-Rachman
untuk pembacaan ijab Kabul, Mas Firman membacakan ijab Kabul dengan begitu
lantang hingga akhirnya kami resmi menjadi sepasang suami istri yang sah.
Pernikahan ku dengan Mas Firman sudah menginjak usia
delapan bulan, hingga akhirnya Mas Firman harus ditugaskan untuk kerja di luar
kota selama kurang lebih satu bulan. Sesudah mencium keningku, Mas Firman
langsung masuk kedalam mobilnya. Seminggu setelah Mas Firman pergi, pagi hari
itu tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan rumah ku. Betapa terkejutnya aku
ketika aku melihat Mas Sugeng sedang berdiri didepan rumah dan membawakan
sebungkus martabak manis. Setelah mengizinkan Mas Sugeng masuk kedalam rumah,
Mas Sugeng langsung membuka pembicaraan “ Apakah kamu bahagia menikah dengan
Firman? “. “ Aku bahagia Mas, maaf sekarang Mas Firman sedang tidak ada dirumah
sekarang. Lebih baik Mas Sugeng langsung pulang saja, tidak enak jika dilihat
orang “, pinta ku. Akhirnya Mas Sugeng pun langsung melangkahkan kakinya menuju
pintu rumah dan langsung membanting pintu rumahku.
Sebulan pun berlalu, Mas Firman sudah pulang dari
tugasnya, aku menyambutnya dengan sangat bahagia. Tetapi apa yang salah dari
Mas Firman? Sepertinya dia tidak suka
dengan perlakuanku, mungkin dia masih lelah
karena aktifitasnya. Akhir-akhir ini aku sering merasa mual, apakah aku
hamil? Semoga saja benar adanya. Akhirnya aku memeriksakan keadaanku ini ke
dokter kandungan. “ Hasilnya positif hamil, usia kandungan anda sudah menginjak
usia dua minggu “, ucap dokter. Betapa bahagianya aku mendengar kabar tersebut,
pasti Mas Firman juga sangat bahagia mendengar kabar ini.
Ketika Mas Firman membuka pintu kamar kami, aku pun
langsung memberitahukan kabar bahagia ini kepada Mas Firman. “ Mas, aku hamil
“, ucapku dengan sangat antusias, tiba-tiba Mas Firman membanting tas kerja
yang sedang ia pegang, “ Apa kamu bilang? Kamu hamil? Pasti bayi yang ada di
kandungan mu itu adalah anak dari Sugeng “, bentak Firman. “ Kamu tega sekali
Mas berbicara seperti itu, aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Sugeng “,
ucap ku lirih. “ Tidak berhubungan kamu bilang? Kamu pikir aku tidak tahu kalau
Sugeng mengunjungi mu saat aku pergi? “.
Sejak saat itu, Mas Firman selalu pulang larut malam,
bahkan ia pernah tidak pulang kerumah. Setelah Sembilan bulan lamanya aku
mengandung, akhirnya anak yang ku kandung lahir kedunia. Anak lelaki yang
sangat tampan. Tangisnya memecahkan keheningan yang ada diruang persalinan. Mas
Firman masih tidak mau mengakui bahwa anak ini adalah anaknya, yang ada
dipikirannya adalah anak ini adalah anak dari Sugeng.
Damas tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan pintar,
ia selalu menjadi juara kelas di sekolahnya. Tapi malang sekali anak ini, ia
tidak mendapat pengakuan dari ayahnya. Miris sekali aku melihatnya, Damas
sering bertanya kepadaku “ Bunda, aku ingin mencium tangan ayah, mengapa ayah
jahat kepada Damas? “, hati ibu mana yang tidak sakit mendengar pertanyaan
tersebut. Mas Firman sering sekali memukul Damas dengan tangannya karena Damas
melakukan kesalahan yang sepele.
Sembilan tahun aku merawat Damas sendirian, karena Mas
Firman tidak mau membiayai segala kebutuhan Damas. Pagi itu, ketika aku mau
membangunkan Damas untuk pergi kesekolah, aku lihat sekujur tubuhnya Damas merah
lebam, suhu badan Damas sangat tinggi. Aku sangat panik dan akhirnya aku
membawa Damas kerumah sakit.
“ Damas terkena hemophilia, dan keadaannya sudah sangat
parah karena banyak sekali luka bekas pukulan . Jika keajaiban datang, mungkin
Damas bisa bertahan “, ucap dokter. Seperti tersambar petir aku mendengar hal
tersebut, semalaman aku menunggu Damar dirumah sakit, aku berusaha menghubungi
Mas Firman tapi Mas Firman mengabaikan pesan yang aku kirim.
Siang itu, adalah siang terburuk yang ada didalam
hidupku. Perasaanku tidak enak sejak tadi malam, tapi aku selalu mengabaikannya
dan berpikir positif. Tiba-tiba dokter datang dan memecahkan lamunanku, “ Ibu
Kinan, maaf kami sudah tidak dapat menangani kondisi Damas, kami sudah berusaha
sebaik mungkin tetapi takdir Tuhan berkata lain “, ucap dokter. Aku hanya
menangis dan sekujur badanku lemas, seperti sehabis mendapatkan tamparan yang
sangat keras sehabis mendengar kabar tersebut. “ Saya juga menemukan surat ini
didalam baju tidur Damas “, kemudian dokter tersebut memberikan sepucuk surat
dari Damas.
Tulisan diamplop tersebut sudah tidak asing lagi bagiku,
tulisan Damas yang sangat khas yang ia tulis dengan pensil kesayangannya yang
aku berikan. “ Buat ayah dan bunda “. Langsung ku buka amplop tersebut dan ku
baca surat itu.
“ Buat ayah dan bunda,
kayaknya besok Damas udah gak ada di bumi lagi, Damas mungkin udah terbang ke
langit. Damas cuma mau minta maaf sama ayah, karena Damas sering buat ayah
kesel dengan Damas, Damas tau ayah kalo pulang kerja capek, jadi ayah gak punya
waktu buat main dengan Damas, makasih ya ayah selama ini ayah udah mau jadi
pahlawan buat Damas, ayah udah mau ngasih uang buat Damas. Buat bunda, makasih
ya udah mau bacain Damas buku cerita setiap Damas mau tidur, kalo Damas nangis
bunda selalu nenangin Damas terus buatin Damas susu coklat. Damas sayang ayah
dan bunda “.
Setelah membaca surat itu, hati ku pun semakin terasa
tersentuh, aku harap Mas Firman mau membaca surat tersebut. Aku langsung
menghubungi Mas Firman untuk segera menjemputku di Rumah sakit, aku memberikan
surat tersebut kepada Mas Firman. Mas Firman pun langsung lari menuju ruangan
tempat Damas di rawat dan memeluk jasad Damas yang sudah tidak berdaya.